Kisah Umar Bin Khatab dan Keteladanan Olly Dondokambey

CahayaSiangNews, OPINI – Pemimpin masyarakat, entah itu Presiden, Gubernur, atau Bupati, Walikota adalah orang yang diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan masyarakat. Khususnya yang berkaitan dengan ekonomi, yang menjadi kebutuhan mendasar masyarakat.

Pemimpin masyarakat harus memiliki kepekaan sosial yang tinggi, bersifat peduli, dan tidak acuh dengan kepentingan masyarakat, apalagi yang menyangkut kebutuhan masyarakat yang membutuhkan. Demikian sebagai bentuk keteladanan.

 

Pertanyaannya, apakah di dunia modern ini kita masih bisa menjumpai pemimpin masyarakat yang memili sifat keteladanan yang baik?

Kisah Umar Bin Khatab

Umar bin Khatab adalah salah satu dari empat sahabat Nabi Muhammad yang sepeninggalan Nabi Muhammad dipercayakan menjadi Khalifah (Pemimpin) ke-2. Dalam kepemimpinannya, Umar di kenal sebagai sosok yang kaya akan nilai – nilai keteladanan. Salah satu kisah yang menarik dari Umar, ketika dia menyaksikan rakyatnya yang kelaparan.

Suatu ketika, dalam masa kepemimpinannya Umar melakukan rutinitasnya. Umar berkeliling dengan pengawalnya, untuk memastikan semua rakyatnya dalam keadaan aman dan terkendali.

Langkah Umar terhenti ketika mereka berada di sebuah dusun kecil dan juga terpencil. Umar mendengar sebuah tangisan anak kecil, yang memilukan. Sesekali tangisan itu terdengar, sesekali tangisan menghilang. Dan akhirnya Umar tak kuasa menahan rasa penasarannya yang telah memuncak.

Mendekatlah Umar di sebuah gubuk tempat sumber suara berasal. Sesampai di sana, Umar melihat seorang Ibu yang sedang memasak untuk anaknya. Sambil mengaduk – ngaduk tungku, Ibu berkata pada anaknya.

“Tidurlah sebentar nak, nanti Ibu bangunkan kalau bubur sudah masak”

Umar yang semakin penasaran, akhirnya sambil menyamar, mendekati Ibu tersebut dan bertanya, apa yang sedang dimasak? Dan kenapa anaknya menangis?

Sambil berlinang air mata, Ibu menceritakan kepada Umar yang sedang menyamar, bahwa Anaknya menangis karena kelaparan, dan yang sedang di masak dalam tungku hanyalah sebuah batu. Hal ini dilakukan Ibu hanya sekedar untuk menghentikan tangis anaknya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *